Itulah dia. Romantiskah? Bagiku itu adalah ungkapan kesedihan dengan sebentuk cinta yang dalam. Ceile...
Tahu kenapa diartikan demikian?
Ima lupa pengarangnya siapa, tapi bacanya di majalah Bobo sekitar tahun 1990-an. Maaf, klo kurang berkenan karena cerita ini berasal dari agama kuno yang menganggap tuhan itu ga sanggup menangani alam semesta ini sendirian, jadi perlu dibantu oleh dewa-dewi semisal, Dewa Petir, buat ngasih efek kilat saat hujan badai. Atau Atlas, buat bantu menopang bumi biar kagak jatoh. Dan lain sebagainya...
Jadi begini ceritanya...
Suatu hari, Dewa Matahari turun ke bumi. Atas kepentingan apa, saya lupa. Dia menyamar menjadi manusia biasa hingga bertemu dengan seorang gadis biasa. Singkat cerita, mereka ditakdirkan jatuh cinta. Namun, itu adalah cinta yang tidak mungkin. Sang dewa harus berada di matahari, sedangkan manusia tidak mungkin tinggal di sana, bisa meleleh kan? Sepertinya dalam agama kuno juga ada pengertian, kalo makhluk itu diciptakan berpasang-pasangan, maka kawinlah dengan dari jenismu sendiri (seperti Ayatullah).
Sehingganya, entah karena cinta yang begitu dalam dari sang gadis atau karena keegoisan dari sang dewa, si gadis pun diubah menjadi bunga. Bunga matahari. Bunga yang selalu memandang (atau mengawasi) peredaran matahari dari timur hingga barat. (Takut matahari selingkuh sama bulan mungkin, hehe).
Duh, kok seperti merusak cerita gitu ya imanya?
Jadi, cerita yang menyedihkan ya? Walopun seolah-olah romantis.