Dalam mendidik anak, kita harus memperhatikan akibat jangka panjang yang akan dialami oleh si anak. Eits, bahasannya kok jadi anak nih? Hmmmm...
Hehe, ini berkaitan dengan diskusi soal anak dengan teman-temanku. Bukan apa-apa. Kami selaku wanita, jika diizinkan Allah akan menjadi ibu dari anak-anak tho?
Dulu, waktu kuliah, aku pernah baca tentang mendidik anak. Tapi lupa kata-katanya. Hehe, lupa nyatat juga. Maklum, kemampuan menyimpan informasi di otakku ga bisa tahan lama. Mungkin termodifikasi sedikit: Kalau kita mendidik anak dengan keras, maka kita bukan mengajarnya menjadi anak penurut, tapi sebaliknya, dia jadi pembangkang. Kalau kita mendidik anak dengan memanjakannya dan cenderung over protektif, maka kita bukannya memberi kasih sayang, tapi mengekang kemampuannya untuk maju.
Penjelasan untuk yang pertama. Didikan keras itu memang cukup membantu, tapi jangan terlalu keras. Lebih baik keras yang membangun. Beri solusi bila mereka melakukan kesalahan. Hal ini akan membiasakan anak untuk mencari root cause masalah dan improvement yang bisa dilakukan nanti agar tidak terulang lagi.
Penjelasan untuk nomer dua. Kadang kita terlalu takut dan menjadi overprotektif terhadap anak, sehingga ada bagian dari dirinya yang seharusnya dia rasakan, tapi dengan sengaja kita hilangkan. Padahal, pelajaran paling berharga itu adalah pengalaman. Dan yang akan terpatri kuat, bila pengalaman itu adalah miliknya sendiri. Dia bisa merasakan secara langsung.
Over protektif ini, secara tidak langsung, membuat orang tua tidak percaya akan anaknya sendiri. Tema ini pernah diangkat ke layar lebar dengan judul "Chicken Little". Anak ayam yang tidak pernah dipercaya oleh ayahnya akan sesuatu membanggakan yang ada dalam diri anak ayam itu.
Kalau masalah didikan anak ini kita bawakan ke lingkungan kerja, akan sangat kurang beruntung bila memiliki bos yang overprotektif terhadap kita. Bos yang suka playing safe. Seperti yang telah diuraikan tadi, ini bukan berarti si bos sayang sama kita, tapi dia tidak percaya kalau kita bisa.
Saat kita membuat satu kesalahan, bos langsung memprotek kita dari project-project yang agak kritikal, biar ga bikin banyak kesalahan. Nah, ini sesuatu yang tidak benar. Bukankah manusia belajar dari kesalahan. Makin banyak kesalahan yang dibuatnya, makin banyak hal yang akan diketahui. Makin banyak pula solusi yang mungkin untuk diterapkan. Sekalipun akan membuat performansi dari si anak buah sedikit jelek. Bukankah Alva Edison menemukan lampu setelah ribuan kali gagal?
Tapi bila anak buah tersandung dua kali pada kesalahan yang sama, baru perlu ditindaklanjuti. Sepertinya anak ini kurang mengerti.
Begitulah... Leadership membutuhkan orang yang mampu melihat jauh ke depan. Saat memiliki anak buah, akankah sang pemimpin merasa anak buah sebagai ancaman? Atau mampukah dia memanfaatkan kemampuan yang dimiliki anak buah dengan terus mengeksplorasi si anak buah ke arah positif?
Berani ambil resiko, itulah kuncinya.