Saturday 15 November 2008

Cool, Calm, Confident

Bagaimana kamu menghadapi sebuah masalah? Dengan cool, calm, confident-kah?

Masalah itu, bisa dibagi atas tiga golongan. Masalah kecil, sedang, atau besar. Mungkin bisa dibagi lebih detail lagi. Masalah sangat kecil, agak kecil, kecil, sedikit lebih besar dari kecil tapi lebih kecil dari sangat sedang, dst... (kalo dilanjutain malah ga selesai-selesai).

Klasifikasi masalah tersebut tidak baku. Karena, ada sebuah masalah yang menurut seseorang kecil, tapi bagi orang lain buesaaarrr.

Dalam menyikapinya pun, orang akan memiliki cara yang berbeda-beda. Bahkan dalam satu individu saja, memiliki bermacam cara dalam menghadapi masalah. Kadang dia terlihat kalem ketika dihadapkan sebuah masalah, di lain waktu dia menjadi kalap. Mengapa? Banyak faktor yang berperan. Faktor internal maupun eksternal.

Misalnya, menghilangkan IC (sebuah komponen elektronik). Hmmm, ada yang bisa nebak pengalaman siapa? Mungkin ini adalah masalah yang sedikit lebih besar dari mesalah kecil tapi lebih kecil dari masalah sedang. Tapi, bagiku, ini masalah buesaaarrrr. Karena, jumlah IC yang ilang ada 25 pcs. Jumlah yang diperlukan untuk membuat satu order produk. Sisa yang ada di store hanya 5 biji saja.

Rasa bersalah yang berkolaborasi dengan trauma membuat aku panik luar biasa. Trauma? Ya, ini adalah 'teman' dari produk yang gagal aku inspeksi dengan baik. Baru kemaren diceramahi abis-abisan sama GM, eh, malah bikin masalah baru. Kepercayaan orang satu PT kepadaku sedang dipertaruhkan! Begitulah kira-kira hatiku membatin.

Aku masih ingat kata-kata GM saat itu. Beliau berkata, "Orang Jepang itu sebenarnya tidak smart. Tapi mereka memiliki good attitude. Saat membuat kesalahan, mereka akan feel bad."

Nah, dari sana aku mencerna, Jepang memiliki budaya maaf dan budaya terima kasih. Mereka menghargai kata maaf. Beda dengan orang Indonesia, setidaknya di PT ku. Saat ada yang bilang maaf, dia akan dibantai abis-abisan. Hal ini, lama kelamaan, membuat orang selalu berkilah bila berbuat salah. Itulah yang dikatakan bad attitude.

Tapi dalam menyikapi rasa bersalah ataupun feel bad itu perlu penangan yang baik juga, kata temanku. Jangan langsung panik. Yah, itu kan teorinya. Prakteknya, akan berbeda masing-masing individu. Apalagi ditambah faktor X seperti trauma, hehe... *ngeles...

Panik merupakan perintah yang refleks kita lakukan saat itu setelah mendapat kejutan masalah. Seperti di pelajaran biologi, gerak refleks itu tidak sampai ke otak, dia hanya sampai ke sum-sum tulang belakang. Misal, kita nginjak paku, saraf kaki akan menyampaikannya ke otak, tapi sebelumnya singgah dulu ke sum-sum tulang belakang. Mungkin saraf itu mau nanya, apa antisipasi cepat untuk masalah ini. Nah, sum-sum tulang belakang dengan cepat memerintahkan saraf motorik untuk bekerja. Kita pun ngangkat kaki. Itu terjadi tidak lebih dari satu detik dalam kondisi normal. Sementara itu, sinyal dari saraf di kaki sampai juga ke otak. Otak akan mencerna informasi yang datang dan memberikan perintah macam-macam ke tubuh. Seperti rasa sakit di bagian yang kena paku, mata berair, mulut bergetar, pita suara mengeluarkan raungan sakit, AUUUUUWWWW.

Begitu juga halnya dengan panik. Informasi tidak cepat sampai ke otak untuk dicerna, tubuh refleks langsung bergerak. Kalau dompetnya ilang, langsung bergerak nyari-nyari. Namun, gerak refleks menghadapi masalah tidak akan selalu sama sepanjang hidup seseorang. Karena hidup itu penuh dengan pembelajaran. Kejutan-kejutan masalah yang timbul akan mampu dihadapi dengan tenang. Sesuai dengan tingkat kecerdasan emosi masing-masing.

1 comment:

ni said...

Weits ima!, Great! kenapa postingan kita judulnya bisa 90 % sama ya? We are really feel same in the same time, isn't?