Baru saja aku menamatkan membaca buku terjemahan dari karya Nizami Ganjavi dengan berlinang air mata. Ampun! Ceritanya mengharu biru. Ini karena hati wanitaku yang terlalu lembut? *halaaah....
Berhubung begitu banyaknya versi dalam penceritaan hikayat cinta ini, aku ga tau yang mana yang bener.. Atau semuanya benar? Buku yang aku baca terbitan Babul Hikmah. Covernya merah jambu. Sedangkan yang best seller menurut kompas adalah terbitan Navila. Sayangnya, cover dari penerbit ini ada gambar yang aneh bin ajaib, bikin aku mual. Ups... Maaf, bukan bermaksud apa-apa. Hehe...
Berikut ini adalah resensi buku menurut pendapat saya:
Karena pengetahuanku tentang cinta yang begitu dangkal, aku merasa cinta Qays, alias Majnun terlalu berlebihan terhadap Layla. Mungkin waktu dia disapa oleh cinta (haduh, bahasanya) dia masih kecil. Sekitar umur anak SMP gitu. Makanya, dia jadi terkesan sedikit bodoh bagiku.
Adapun Layla, yang akhirnya menikah dengan lelaki lain, tidak mampu mengabdikan dirinya kepada suami karena hati telah tercuri oleh Qays. Tak ada lagi hati untuk dibagi.
Mungkin, karena kejadiannya sebelum kedatangan Islam, pls correct me if i am wrong, makanya Qays begitu tergila-gila pada Layla. Seolah-olah cintanya pada Layla lebih besar daripada Sang Pemilik Cinta. Cintanya pada Layla seperti cinta para sufi pada Allah Azzawajalla.
Dia antara ingin dan tidak ingin mendapatkan Layla. Dia sepertinya lebih suka berangan-angan daripada mewujudkan angan-angannya itu. Dia terpesona akan diri Layla tapi menjadi gila karena cinta. Dia kemudian menjadi budak cinta. Tak ingat siang ataupun malam. Yang ada di pikirannya hanya cinta. Bahkan dia menolak ajakan ayah dan ibu yang mencintainya dengan tulus untuk kembali ke kaumnya (Qays, demi menjaga kesucian cintanya, lari ke hutan yang sulit dijangkau manusia). Hingga, satu per satu orangtuanya meninggal dunia. Tiap kali mendengar kematian orangtuanya, dia pasti menyesal. Tapi sesalnya hanya sekejap karena dia kembali teringat Layla. Urgh! Betapa dahsyat rasa cintanya pada Layla hingga cinta keluarga mampu ditepis begitu saja.
Dan orangtua mana yang mau anaknya dilamar oleh orang gila? Kenapa Qays tidak berusaha menjadi orang yang lebih baik kemudian meminang Layla? Aku yakin, ayah Layla tak akan menolaknya. Lagipula dia berasal dari bani Amir yang katanya memiliki 'kasta' lebih tinggi dibandingkan suku dari kaum Layla, bani Qhatibiah.
Sebab, ada seorang pemuda yang bernama Ibnu Salam, dia juga tersihir oleh keindahan dari diri Layla dan kemudian mendatangi ayah Layla untuk melamar, lamaran diterima dengan janji pernikahan akan dilaksanakan saat Layla dewasa. Nah, kan?
Bahkan sahabat Qays, Naufal, yang mau berperang dengan bani Qhatibiah agar Qays dapat menikahi Layla, lebih dipilih ayah Layla untuk menjadi menantunya. Maka tidak salah pepatah yang mengatakan, "bila ingin menumbangkan panglima, bunuh dulu kudanya." Weits... sadisss...
Tapi, di situlah letak kemurnian cinta Qays, dia tidak ingin merayu untuk mendapatkan Layla. Menghadiahkan emas permata bahkan dunia yang hanya membuatnya seakan membeli sang kekasih.
Di akhir cerita, saat Layla yang telah menjanda karena ditinggal mati oleh suaminya ingin bertemu dengan Qays. Pertemuan mereka berlangsung hening tanpa kata-kata. Karena terlalu lama memendam rasa rindu dan merasakan kepedihan akibat cinta. Qays pun jadi gila beneran! Kasihan... Tak lama kemudian Layla meninggal dunia dan berpesan pada ibunya agar jangan larang Qays bila ingin menjenguk kuburannya nanti.
Dan begitulah, Qays meninggal sambil memeluk kuburan kekasihnya. Membawa mati rasa cinta yang dia miliki sejak usia belia.
Tolong dikomen. Kalau2 saya salah menyimpulkan kisah best seller sepanjang masa ini...
No comments:
Post a Comment